Sudah Siapkah Kita dengan Sistem Zonasi?
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)
2019 kini telah memasuki babaknya. Kebijakan penerimaan pesera didik baru lewat
sistem zonasi kembali menjadi polemik di berbagai kalangan. Pro dan kontra
terhadap kebijakan yang ditetapkan pemerintah melalui penerbitan Peraturan
Menteri Pendidikan (Permendikbud) No. 51 Tahun 2018 tentang PPDB pada Taman
Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas,
Sekolah Menengah Kejuruan, atau Bentuk Lain yang Sederajat ini tak dapat
terelakan. Meski sistem ini telah mulai dikenalkan dan diberlakukan sejak tahun
2017, sejumlah protes dari berbagai kalangan terus bermunculan, terutama dari
para orang tua murid yang anaknya telah belajar mati – matian untuk dapat masuk
ke sekolah favorit, sekolah yang mereka dambakan. Aksi protes yang muncul di
beberapa daerah menunjukkan masih adanya permasalahan dalam penerapan kebijakan
ini. Bahkan, akun Instagram @kemendikbud.ri tidak luput dari curhatan. Lantas,
benarkah kita sudah siap dengan sistem zonasi ini?
Berpuluh – puluh tahun sistem
pendidikan kita menganut paham sekolah unggul dan tidak unggul. Anak unggul
akan masuk kelas atau sekolah unggulan dan anak tidak unggul akan dimasukkan ke
kelas atau sekolah reguler. Hal ini menyebabkan perbedaan perlakuan, kelas atau
sekolah yang unggul akan dilayani guru terbaik dan fasilitas unggulan,
sedangkan kelas atau sekolah reguler hanya memiliki guru biasa dan fasilitas
seadanya. Kontras sekali memang dengan apa yang tertulis dalam UUD 1945 bahwa
setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang layak.
Layanan pendidikan seakan disamakan dengan layanan transportasi atau hotel, di
mana layanan diberikan berdasarkan level tinggi rendahnya kelas, ada kelas
eksekutif, bisnis, dan ekonomi. Tinggal pilih, tergantung kesanggupan. Ehmm!!
Hadirnya kebijakan sistem Zonasi PPDB
ini adalah untuk mengatasi hal – hal sedemikan. Sistem ini sebenarnya memiliki
tujuan yang baik, yakni dimaksudkan untuk pemerataan kualitas pendidikan, yang
nantinya diharapkan dapat menghilangkan elitisme dari dunia pendidikan. Agar
sewaktu anak sekolah, tidak ada lagi dikotomi sekolah unggulan dan tidak
unggulan yang diskriminatif. Secara teori dan konsep, penetapan kebijakan ini
sebenarnya sudah bagus. Membawa angin segar dalam dunia pendidikan kita, bahwa
pendidikan terbuka untuk semua kalangan dan semua anak berhak mendapatkan
layanan pendidikan dengan mutu yang sama. Tak ada lagi diskriminasi, apalagi
labelisasi sekolah. Akan tetapi, dalam praktiknya tidaklah semudah dan seindah
yang dibayangkan. Mengubah mindset yang sudah berpuluh – puluh tahun bercokol
dalam tubuh pendidikan kita tentulah tidak mudah. Alih – alih menyelesaikan
permasalahan justru memberikan persoalan baru yang harus segera diselesaikan.
Ketidaksiapan, menjadi faktor yang menyebabkan sistem zonasi menjadi
kontroversi besar.
Ketidaksiapan yang dialami baik dari
sisi peserta didik, orang tua, maupun pemerintah sendiri menimbulkan beberapa
persoalan di lapangan yang perlu dievaluasi bersama. Ketidaksiapan dari peserta
didik dan orang tua adalah ketidaksiapan ‘cara pandang’ yang masih menganggap
nilai ujian adalah segala – galanya dan sekolah unggulan adalah tempat terbaik
untuk belajar. Cara pandang inilah yang akhirnya menyebabkan melemahnya
semangat belajar dalam diri peserta didik. Sebagus apa pun nilai UN nya, akan
kalah dengan jarak tempat tinggal. Cara pandang ini yang akhirnya membawa pada
tindakan para orang tua yang rela melakukan berbagai strategi berburu sekolah
terbaik untuk anak – anaknya. Mulai dari pemalsuan surat keterangan domisili
hingga strategi kongkalikong, jual-beli kursi. Ngeri bukan? Dan pernahkah kita
sadari tindakan – tindakan yang semacam ini, jika kita runtut akan menimbulkan
dampak jauh lebih besar yang sangat merugikan masa depan anak?
Dari sisi pemerintah, pemerintah
harus mengakui dengan hati yang lapang bahwa kebijakan yang ditetapkan saat ini
memanglah masih terdapat banyak lubang, belum ada persiapan yang matang.
Kurangnya sosialisasi terhadap peserta didik, orang tua dan pihak sekolah, yang
mana pihak sekolah menjadi peran penting dalam pelaksanaan kebijakan ini,
menjadi faktor utama dalam ketidaksiapan yang saat ini terjadi. Selain itu,
ketidaksiapan lainnya dalam pemerataan infrastuktur dan fasilitas setiap
sekolah di seluruh daerah menjadi lubang besar yang harus segera ditutup. Belum
adanya standarisasi fasilitas sekolah yang jelas maupun tenaga pendidik yang
berkualitas, belum lagi masalah ketersediaan sekolah negeri di beberapa daerah
yang jumlahnya pun terbatas menjadi alasan yang kuat bagi para orang tua dan
peserta didik untuk menolak sistem zonasi ini. Pemerintah harus menyadari,
bahwa menetapkan kebijakan tanpa memperhatikan berbagai aspek yang berkenaan
dengan kesiapan justru menjadi runyam akibatnya. Dan agar alih kebijakan yang dilakukan
oleh pemerintah ini berjalan sebagaimana mestinya, maka pemerintah harus segera
memenuhi syarat dan ketentuannya.
Nasi sudah menjadi bubur, apa yang
sudah terlanjur tidak dapat ditarik lagi. Dibiarkan saja tidak akan membuatnya
kembali ke awal lagi. Dimasak lagi, membuat semakin tidak karuan. Kalau
dibuang, bukankah sayang? Membuang, membatalkan sistem zonasi yang kini tengah
berjalan akan semakin membuat runyam. Agar dapat dinikmati menjadi santapan
yang lezat, maka pemerintah harus menambah hal – hal yang masih kurang. Lalu,
apa saja yang harus dilakukan untuk memperbaiki sistem yang tengah berjalan
ini? Pertama, pemerintah harus melakukan sosialisasi secara masif dan
komprehensif terhadap pemerintah daerah dan masyarakat. Agar yang menjadi
sasaran dalam kebijakan ini memahami secara betul dan tidak setengah – tengah,
bahwa sistem zonasi bukan hanya persoalan jarak tempat tinggal, tapi lebih dari
itu, yakni untuk pemerataan kualitas pendidikan yang ada di Indonesia.
Peristiwa ini juga seharusnya menjadi bahan evaluasi pemerintah, agar ke depan
ketika membuat suatu kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak
haruslah dengan persiapan yang matang, melakukan uji publik, dan
menyosialisasikannya secara masif sebelum benar – benar diterapkan.
Kedua, pemerintah harus melakukan
pemetaan secara menyeluruh untuk mengetahui jumlah ketersediaan sekolah negeri
di setiap zona. Hal ini dilakukan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan
zonasi dan pelebaran zonasi, sehingga permasalahan membludaknya calon peserta
didik di satu wilayah atau kekurangan calon peserta didik serta permasalahan
calon peserta didik yang tidak terjangkau zona sekolah dapat teratasi.
Ketiga, pemerintah harus segera
melakukan pemerataan kualitas, fasilitas, dan infrastruktur sekolah. Berkaca
dari Jepang yang merupakan salah satu negara terbaik dalam menerapkan sistem
zonasi ini, di mana tidak ada gejolak yang berarti dan penolakan dari
masyarakatnya adalah karena sistem infomasi kependudukan di Jepang sudah
terintegrasi dan berjalan dengan baik. Setiap penduduk terdata dengan jelas
identitasnya, dan setiap tahun ajaran baru anak – anak sekolah akan mendapat
surat dari pemerintah berupa informasi rekomendasi sekolah yang akan mereka
masuki. Sehingga tidak ada kehebohan yang ditimbulkan karena khawatir tidak
kebagian kursi sekolah. Selain itu, standar kualitas yang sama di semua sekolah
mulai dari standar proses belajar mengajar, fasilitas fisik berupa gedung
seperti lapangan dengan ukuran sama, semua memiliki kolam renang, gedung serba
guna, loker, WC yang sama baiknya, hingga soal ulangan yang dibuat sama dengan
kertas HVS 80 gram full warna juga dilakukan oleh pemerintah Jepang. Pemerataan
kualitas kompetensi guru dalam mengajar dan penyediaan infrastruktur yang
memadai berupa jalan khusus untuk pejalan kaki, jembatan penyebrangan, dan
lampu merah yang berfungsi dengan baik juga mulai sekarang harus menjadi
perhatian pemerintah.
Keempat, cara pandang atau persepsi
orang tua dan peserta didik harus diubah, bahwa sekolah unggulan, sekolah
favorit sudah tidak ada lagi. Semua sekolah adalah sama baiknya, sama levelnya,
dan sama kualitasnya. Tentu untuk terwujudnya hal ini semua pihak harus
terlibat. Pemerintah dan pihak sekolah harus bekerja sama dalam memberikan
pemahaman terhadap orang tua dan peserta didik. Dalam proses pembentukan
persepsi ini, pemerintah perlu memperkuatnya dengan pemerataan kuantitas dan
kualitas sekolah. Sehingga, trust atau kepercayaan orang tua dan peserta didik
terhadap kebijakan yang dibuat pemerintah dapat terbangun.
Kelima, orang tua dan sekolah selaku
pihak yang terdekat dengan anak haruslah memberikan pengertian dan pemahaman
bahwa sekolah mana pun bisa menjadi tempat belajar, sekalipun itu dekat dengan
rumah. Dan dalam belajar tidak harus mengandalkan level sekolah. Menjadi tugas
masing – masing pelajar untuk belajar dengan sungguh – sungguh dengan
memanfaatkan berbagai sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar. Jangan
sampai karena penerapan suatu kebijakan akhirnya menyurutkan semangat belajar
dan menjadi alasan untuk tidak belajar dan berangkat ke sekolah.
Pada akhirnya kita harus kembali ke
pertanyaan awal, “Sudah siapkah kita dengan sistem zonasi?”. Dan jawabannya
sudah kita ketahui. Dengan begini ‘PR – PR’ pemerintah, sekolah, tenaga
pendidik menjadi bertambah. Ke depan, pemerintah dan perpanjangtanganannya
harus bekerja ekstra untuk mewujudkannya. Jangan sampai penetapan suatu
kebijakan yang berawal dari niat baik untuk pemerataan kualitas pendidikan ini
dan telah menyita banyak emosi dari berbagai pihak, berakhir menjadi sebuah
proyek yang terbengkalai dan sekadar janji. Menjadi ironi yang tidak menemukan
penyelesaiannya, seperti isu – isu pendidikan yang lainnya. Kita tentu berharap,
masa mendatang pemenuhan pendidikan yang layak dan setara, seperti yang
termaktub dalam UUD 1945 dapat terwujud dan dirasakan oleh semua warga negara
Indonesia tanpa terkecuali, tanpa diskriminasi.
Komentar
Posting Komentar