Bu Guru, Bolehkah Aku Bermimpi?



Wajahnya serius, dadanya berdetak semakin cepat, dag dig dag dig. Tangan yang sedari tadi berkeringat dan berulang kali diusap ia sembunyikan tepat di bawah laci meja, ragu ia mengangkatnya. Di tengah keraguan yang menyelimutinya, keberanian tiba – tiba menjalar dari kepalanya, “Kalau aku tidak bertanya sekarang, aku tidak akan tahu jawabanya.” Pikirnya.
“Bu Guru!” panggilnya sambil mengangkat tangan malu – malu dan suara bergetar. “Bolehkah aku bermimpi?” Pertanyaan yang sedari tadi ia pendam, akhirnya keluar juga dari mulutnya. Bahkan kalau dipikirkan kembali, pertanyaan ini sebenarnya sudah jauh – jauh hari memenuhi kepalanya tapi tak pernah ia sampaikan pada bu guru satu – satunya itu karena takut jawaban yang akan ia terima tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan.
“Tentu saja boleh nak. Kenapa tidak?” jawab Bu Guru. Bukannya sang guru tak tahu alasan muridnya bertanya demikian. Hal yang remeh diucapkan  bagi banyak orang, tapi tidak bagi murid – murid di desa ini yang umumnya sepulang sekolah mereka harus membantu orang tua bekerja di ladang, sawah, dagang, bahkan angon sapi di tengah lapang. Bagi kebanyakan orang mungkin berpikiran, siapa saja boleh memiliki mimpi dan bebas memilih mimpinya. Tapi tidak bagi murid – murid di desa ini, dan bu guru paham betul dengan kekhawatiran mereka.
“Kata Bapak, yang boleh punya mimpi itu cuma anak – anak orang kaya bu, macam anaknya Pak Lurah itu.” Katanya.
“Hmmmm...” Sang guru menarik napas dalam – dalam, sepertinya hari ini ia akan mengakhiri kelasnya dengan cerita penuh motivasi yang panjang lebar dan akan menguras isi hatinya.
***
Cerita di atas hanyalah penggalan fiksi yang dalam kehidupan nyata masih bisa kita temui di beberapa belahan negeri yang gemah ripah loh jinawi ini. Sebagian dari mereka atau bahkan kita, untuk bermimpi saja tidak berani apalagi mewujudkan mimpi yang mereka miliki. Atau, memiliki mimipi saja mereka tidak berani apalagi memilih mimpi mana yang mereka sukai.
Di masa kita kecil dulu atau pada saat usia kita berada di usia sekolah, guru – guru kita dan bahkan orang tua kita memotivasi diri kita, “Nak, bermimpilah yang tinggi. Setinggi angkasa.” Katanya. Bagaimana kita tidak mengawang – awang jauh dan terbang tinggi saat mendengar nasihat ini?
Tapi sungguh, realita bisa lebih kejam dari apa yang bisa kita bayangkan. Para orang dewasa terkadang lupa melanjutkan kalimatnya ketika mengucapkan kalimat magic tadi. Sampai – sampai membuat siapa saja yang mendengarnya menjadi terlena. Mereka lupa mengatakan, “Tapi Nak, untuk mencapai mimpi yang setinggi angkasa itu bukan hal yang mudah. Kamu mungkin membutuhkan tangga untuk mencapainya, yang itu bisa saja panjang tangganya lebih panjang daripada tangga yang biasa kamu lihat. Bisa saja saat kamu menaikinya sesekali kamu terpeleset, jatuh, yang membuat kamu harus mengulang dari awal atau bahkan rasa putus asa yang datang karena kamu tak kunjung sampai pada tujuan. Atau kamu mungkin membutuhkan pesawat jet atau apollo untuk mencapainya, yang bisa saja untuk membuat pesawat tersebut tadi membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan biaya yang cukup banyak. Nak, artinya, untuk mencapai mimpi – mimpimu, kamu perlu berusaha dengan sungguh – sungguh. Dan kamu juga perlu berkorban dengan banyak hal; waktu, tenaga, pikiran, dan bahkan uang.”
Sungguh, realita bisa lebih kejam dari apa yang bisa kita bayangkan. Ketika kita boleh memilih apa saja mimpi kita, tapi hanya sebagian orang yang boleh atau bisa mewujudkannya. Bagaimana tidak? Coba kita pikirkan bersama, dulu saat kita masih kecil dengan lantang di depan kelas kita bisa mengatakan cita – citaku menjadi dokter, pilot, polisi, tentara, dan berbagai profesi “prestise” lainnya bahkan cita – cita kita itu bisa berganti sepanjang waktu, semau kita. Tapi coba ketika kita beranjak dewasa, kita dibuat bungkam dengan kondisi yang ada. Mana berani kita berkata dengan lantang apa cita – cita kita. Bisa sekolah sampai menengah saja untung, lha ini malah mau bercita – cita. Bayar pakai apa? Mereka yang boleh atau bisa mewujudkan mimpinya itu hanyalah anak – anak dari orang tua atau keluarga ternama. Anak – anak dari keluarga yang memiliki kuasa. Anak – anak dari orang tua atau keluarga yang memiliki garis keturunan profesi yang sama. Dan mereka yang berasal dari keluarga kaya yang mungkin kekayaannya tidak habis sampai tujuh turunan. Tak percaya? Cobalah sekali – kali lihat album kenangan wisuda sarjana, di sana kita akan menemui beberapa jurusan hanya bisa dimasuki oleh anak dengan “kriteria” tertentu tadi. Tak sembarangan orang bisa masuk, kalau pun ada orang tua mereka harus berjuang mati – matian dengan menjual sawah, tanah, sapi atau bahkan berhutang di bank demi membiayai uang kuliah yang mahalnya luar biasa.
Maka menjadi tidak heran, bila dulu kita semasa kecil berani bermimpi setinggi – tingginya setelah dewasa nyali kita menciut, seciut – ciutnya. Kalau sudah seperti itu, masih bolehkah kita bermimpi setinggi angkasa? Tentu saja boleh, tapi harus kita ingat, untuk mencapainya perlu effort terbaik, perlu pijakan yang kuat agar kita tidak mudah jatuh, dan kalau pun nanti kita jatuh, kita tidak jatuh terlalu dalam. Dan soal mimpi, cita – cita; tidak hanya tentang “profesi prestise” yang kebanyakan orang bicarakan dan kamu, kita tidak harus sama. Bermimpilah dengan caramu!

Komentar

Postingan Populer